-Kalau kau bukan orang kaya, tidak terkenal, tidak
memiliki jabatan, dan tak sekepentingan, maka kebanyakan manusia akan menjauh
walau sebenarnya ia saudaramu.
-Berlaku sebaliknya.
Kaidah dari mana itu? ya, kaidah yang lahir dari abad modern. Terus terang saja, tanpa menuding orang lain kita harus sadar dan mulai mengakui bahwa tradisi kebersamaan dan kepedulian saat ini sangat dibatasi oleh kepentingan. Maksudnya? pendek kata, peduli mulai terkikis perlahan dari masing-masing kepribadian.
Contoh kecil, dampak handphone yang selama ini kita bawa kemanapun pergi nyatanya selain mempermudah komunikasi juga acap kali membuat putus saat komunikasi berlangsung. Obrolan yang sedang hangat bisa tersela karna suara notif dan nada dering.
Makin jauh lagi, semakin berkembangnya media ditambah makin mudahnya dalam mengakses suatu pemberitaan dan tontonan perlahan membentuk pola pikir anak bangsa untuk ikut meniru dan bergaya ala figur yang dilihatnya. Bayangkan saja, menjadi artis, penyanyi, vlogger dan sejenisnya menjadi favorit anak-anak sekolah, dampak dekatnya narsis dan bergaya ala artis di medsos masing-masing, dan skala panjangnya jelas menjadi apa yang diidamkan selama ini. Audisi Dangdut misalnya, kita akan menyaksikan ribuan peserta berduyun-duyun dan rela berdesak-desakan untuk ikut berlomba menjadi yang terbaik, untuk apa? jadi artis, terkenal, kaya! Bandingkan sendiri dengan perlombaan membaca Al-Qur'an misalnya, Jangankan mencapai ribuan, mampu mengumpulkan ratusan peserta saya kira panitia patut diRekor Murikan, hehee
Nah, dampaknya, hidup ala modern dengan segenap karakter yang modern pula, menjadikan pola pikir dan hidup makin tak kenal siapa dan apa disekeliling. Semua ini terjadi benar-benar mengalir hingga apa yang kita rasakan saat ini.
Adakah solusi? Entahlah, toh inilah zaman kita. yang menjadi soal adalah cara berfikir yang membuat pola hidup ikut terseret, bukan zaman dan segala kecanggihannya.
Contoh kecil, dampak handphone yang selama ini kita bawa kemanapun pergi nyatanya selain mempermudah komunikasi juga acap kali membuat putus saat komunikasi berlangsung. Obrolan yang sedang hangat bisa tersela karna suara notif dan nada dering.
Makin jauh lagi, semakin berkembangnya media ditambah makin mudahnya dalam mengakses suatu pemberitaan dan tontonan perlahan membentuk pola pikir anak bangsa untuk ikut meniru dan bergaya ala figur yang dilihatnya. Bayangkan saja, menjadi artis, penyanyi, vlogger dan sejenisnya menjadi favorit anak-anak sekolah, dampak dekatnya narsis dan bergaya ala artis di medsos masing-masing, dan skala panjangnya jelas menjadi apa yang diidamkan selama ini. Audisi Dangdut misalnya, kita akan menyaksikan ribuan peserta berduyun-duyun dan rela berdesak-desakan untuk ikut berlomba menjadi yang terbaik, untuk apa? jadi artis, terkenal, kaya! Bandingkan sendiri dengan perlombaan membaca Al-Qur'an misalnya, Jangankan mencapai ribuan, mampu mengumpulkan ratusan peserta saya kira panitia patut diRekor Murikan, hehee
Nah, dampaknya, hidup ala modern dengan segenap karakter yang modern pula, menjadikan pola pikir dan hidup makin tak kenal siapa dan apa disekeliling. Semua ini terjadi benar-benar mengalir hingga apa yang kita rasakan saat ini.
Adakah solusi? Entahlah, toh inilah zaman kita. yang menjadi soal adalah cara berfikir yang membuat pola hidup ikut terseret, bukan zaman dan segala kecanggihannya.
Bandar Lampung, 05-05-17
0 comments:
Post a Comment